Agama versus Ekstrimisme


Jika ditanya apa isu global yang mendefinisikan abad ke-21, banyak yang akan menjawab adalah meruaknya aksi-aksi radikal seperti bom bunuh diri. Dan beberapa ilmuwan menyalahkan ideologi agama atas tindakan tersebut.

Namun banyak riset selama hampir dua dekade terakhir, termasuk riset  Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia, menemukan lebih banyak faktor.

Tindakan radikal sebenarnya ditemukan sepanjang sejarah manusia, tapi para ilmuwan sepakat bahwa peristiwa 11 September 2001 adalah titik awal ketika mata dunia mulai memusatkan perhatian kepada kelompok-kelompok teroris.

Hingga saat ini, banyak pihak masih berusaha keras untuk mencari cara menangkal sekaligus melawan aksi-aksi radikal.

Para ilmuwan dari berbagai disiplin berusaha menemukan faktor-faktor apa yang bekerja di balik radikalisme dan mencari tahu proses apa yang terjadi hingga orang bersedia mengorbankan nyawanya sendiri untuk melakukan aksi teror.

Dan langkah yang diambil Pemerintah Kerajaan Arab Saudi untuk pertama kalinya dalam sejarah menandatangani kesepakatan dengan Vatikan untuk membangun gereja bagi warga Kristen di negara Islam tersebut adalah langkah yang sangat tepat.

Kesepakatan itu untuk mengadvokasi peran penting dari agama dan budaya dalam menyangkal kekerasan, ekstremisme, terorisme dan mencapai keamanan dan stabilitas di dunia.

Kesepakatan ditandatangani oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) Liga Dunia Muslim Sheikh Mohammed bin Abdel Karim Al-Issa dan Presiden Dewan Kepausan untuk Dialog Antaragama di Vatikan serta dengan kardinal Perancis dari Gereja Katolik Jean-Louis Tauran di Saudi.

Peran agama dalam menekan angka ekstrimisme sangatlah penting.  Oleh karena itu,  selain menggelorakan semangat kerukunan,  kerjasama antar agama juga sangat krusila sifatnya dalam memberantas ekstrimisme,  terorisme,  dan fanatisme buta yang berpotensi mengganggu kelangsungan hidup orang banyak.

0 Komentar

close