Berpolitik Selayaknya Tanpa Kebencian

Istilah "politik kebencian" sesungguhnya adalah dua kata yang saling kontradiktif. Karena "politik" tentu saja memiliki konotasi "seni mempengaruhi atau mengajak" sehingga orang lain terpengaruh dan mau ikut dengan ajakan kita.

Mengajak dalam konteks politik tentu saja dengan memberikan keyakinan atas banyak hal yang baik dan positif kepada pihak lain, hampir tak mungkin ada di dalamnya unsur-unsur yang terkait keburukan, karena orang berpolitik pasti akan menunjukkan banyak hal baik agar orang percaya untuk mengikutinya.

Sedangkan "kebencian" sebagaimana disebut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah "perasaan benci" atau "sifat-sifat benci" yang dimiliki seseorang atau kelompok yang tentu saja tujuannya "menolak" bukan "mengajak". Namun demikian, "mengajak dengan didahului oleh kebencian" tampaknya kian marak belakangan, dengan tentu saja memiliki tujuan-tujuan politis.

Yang paling menyedihkan, politik kebencian lekat dengan nuansa keberagamaan yang tidak "wajar", dimana agama bukan dipahami menjadi sebuah entitas perekat sosial dengan nuansa kedamaian  didalamnya, namun dijadikan "pemicu" bagi dorongan kebencian pada pihak atau kelompok lain.

Ya, dalam khazanah Islam, seseorang atau sekelompok orang yang menjalankan sikap keberagamaan secara tidak wajar, sama dengan "ghuluw" (bersikap berlebihan yang melampaui batas). Kata "ghuluw" yang berasal dari akar kata bahasa Arab "ghalaa", kemudian diadopsi kedalam istilah bahasa Indonesia menjadi "gila" (sikap yang menunjukkan ketidakwarasan berpikir, atau akal sehatnya terganggu). "Kegilaan agama" barangkali akar pemicu dalam dimensi perputaran poros politik kebencian.

0 Komentar

close