Menutup Ruang Bagi Radikalisme dan Terorisme


Terorisme, sebagaimana bencana, sekali lagi menjadi impuls yang menunjukkan 'watak dasar' bangsa Indonesia: empatif dan guyub.

Berduyun-duyun ucapan bela sungkawa, ekspresi dukungan moril dan materil, diekspresikan di mana-mana, dengan media apapun: bunga, 'viralisasi'counter narrative terhadap terorisme, dan lain-lain.

Walau kemudian, kita mengerti bahwa penguatan arus ultra-konservativisme Islam telah membuat sebagian dari kita lebih memilih PalestinaFirst. Ini juga jadi masalah: katanya, di mana solidaritas kita terhadap saudara setanah-air?

Sebagian lagi kehilangan kemampuan berempati dan balik mencibir. Mulai dari cibiran bahwa korban adalah layak dikorbankan karena, misalnya, kafir, sampai cibiran bahwa kita terlampau 'lebay' merespons padahal di Suriah dan Palestina, misalnya, korbannya jauh lebih banyak.

Cibiran juga muncul sebagai ekspresi kekesalan karena 'Islam' (selalu) disalahkan, walaupun fakta lapangan yang ditemukan, pelaku memang kebetulan secara administratif beragama Islam.

Dan, sebagian yang melandasi tindakannya adalah pemahamannya yang keliru atas jihad dalam Islam. Bagi oposan, tragedi terorisme ini adalah juga impuls untuk balik mengkritisi pemerintah sebagai lemah dan tidak bisa menjamin keamanan.

Namun begitu, sebagaimana setiap kali aksi teror berusaha merusak kedamaian dan menyebarkan paranoia di sekitar kita, kita balik berikrar: #kamitidaktakut.

Dalam konteks ini, aksi teror memperkuat genggaman tangan kita untuk sama-sama pasang badan saling dukung melawan terorisme.

Kita membuktikan sekali lagi keguyuban kita dalam menjaga kodrat keberagaman yang dibingkai toleransi, sikap saling hormat-menghormati. Dari sana, orang kemudian mempertanyakan: apa yang masih bisa dibenahi, diperbaiki, dalam upaya pemutusan virus radikalisme?

Karena,  apapun alasan dibalik kebencian dan dukungan kita,  terorisme harus dibumi hanguskan dan radikalisme harus dijinakan, demi Indonesia.

0 Komentar

close