Aceh Menuntut Referendum, Dua Dekade Lalu


Pasangan calon presiden Prabowo Subianto–Sandiaga Uno mendapat kemenangan sangat telak di Provinsi Aceh dengan 81 persen suara. Namun, secara nasional pemenang Pilpres 2019 adalah pasangan Joko Widodo–Ma’ruf Amin. Hasil itu membikin kecewa Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA) Muzakir Manaf.

Muzakir Manaf menilai banyak kecurangan terkait hasil pilpres itu. Karenanya, lelaki yang juga ketua umum Partai Aceh itu melontarkan pernyataan bahwa Aceh lebih baik melakukan referendum dengan opsi melepaskan diri dari Indonesia.

Tentu saja lontaran itu segera jadi pusaran polemik. Tak kurang dari Ketua DPR RI Bambang Soesatyo dan Menko Polhukam Wiranto menolak tegas wacana itu.

Penolakan juga datang dari mantan pemimpin juru runding Indonesia dalam MOU Helsinki 2005, Hamid Awaludin. Baginya, wacana itu berbahaya bagi perdamaian Aceh yang telah berjalan lebih dari 14 tahun.

"Karena kalau Anda tanya saya (apa) urgensinya (ucapan Muzakir Manaf tersebut), bukan hanya tidak urgent, tapi itu bahaya sekali, bahaya sekali," kata Hamid Awaludin sebagaimana dikutip BBC Indonesia.

Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI asal Aceh, Muslim Ayub, juga turut mempertanyakan pernyataan Muzakir Manaf. Muslim mengatakan tak ada kaitan antara referendum dengan hasil Pilpres 2019. Kekecewaan hasil Pilpres 2019 masih bisa diselesaikan lewat alternatif lain.

"Apa kaitannya pilpres dengan referendum? Bagi saya tidak ada kaitannya itu. Kalau masalah kekecewaan, semua kita pendukung 02 merasa kecewa, tapi kita masih ada alternatif lain," kata Muslim kepada para wartawan.

Marzuki AR, mantan kombatan GAM yang dekat dengan Muzakir Manaf, menjelaskan dapat mengerti musabab wacana referendum itu muncul. Selain terkait hasil pilpres, kekecewaan itu muncul juga karena belum semua poin dalam Kesepakatan Helsinki terealisasi.

"Aceh mempunyai konsensus dengan Republik Indonesia menyangkut MoU Helsinki. Sampai hari ini tidak semua poin–poin yang kita sepakati terealisasi,” kata Marzuki A.R., masih dari BBC News Indonesia.

Orang bisa berdebat soal urgensi referendum dalam konteks Aceh hari ini. Namun, sejatinya ini bukan wacana baru. Pada 1999, rakyat Aceh pernah menuntut referendum dengan opsi merdeka.

Dari Konflik ke Tuntutan Referendum Aceh dilanda konflik sejak paruh akhir 1970–an. Seturut keterangan sejarawan M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern (2008, hlm. 626–627), konflik bermula dari kemuakan sebagian rakyat Aceh atas cara Jakarta mengelola Aceh. Meski kaya akan sumber gas alam cair, Jakarta hanya memberi porsi kecil keuntungannya untuk Aceh.

Orang Aceh juga tidak suka atas perampasan tanah rakyat dan kehadiran gerombolan preman yang dipelihara ABRI di sana. Kemuakan itu lalu memuncak jadi konflik menahun. Pemberontakan pertama yang diinisiasi oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pimpinan Hasan Tiro berlangsung selama 1977 hingga 1982.

Sempat mengalami masa jeda, pemberontakan GAM muncul kembali pada 1988. Jakarta lantas menghadapinya dengan pendekatan militeristik. Teror dan intimidasi oleh ABRI terjadi di mana–mana, sementara GAM juga tak kendur menyerang pos–pos ABRI.

“Pada pertengahan 1990, karena memuncaknya pemberontakan, Jakarta mengirim pasukan Kostrad ke Aceh di bawah pimpinan Prabowo. Sejak saat itu hingga 1998, Aceh dianggap sebagai Daerah Operasi Militer (DOM), dan di situ diberlakukan hukum darurat perang,” tulis Ricklefs.

Setelah Soeharto jatuh pada Mei 1998, ABRI mulai melunak meski tingkat kekerasan di Aceh tak menurun. Kalangan mahasiswa yang peduli pada persoalan Aceh pun lebih berani menuntut pengusutan pelanggaran HAM di Aceh. Masalah Aceh tetap terpinggirkan hingga tahun berganti.

Hingga menyeruaklah wacana referendum Aceh pada awal 1999. Wacana ini tak muncul lewat GAM, melainkan dalam Kongres Mahasiswa dan Pemuda Aceh Serantau yang dihelat pada 31 Januari hingga 4 Februari 1999. Lalu, untuk mengawal ide referendum itu terbentuklah Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA).

SIRA dimotori oleh para mahasiswa Aceh. Ketua presidiumnya, Muhammad Nazar, kala itu baru lulus dari IAIN Ar–Raniry dan menjadi pengajar di sana. Tugas utama SIRA adalah mengkampanyekan terlaksananya referendum di Aceh dengan opsi merdeka atau tetap ikut Indonesia.

Sepanjang 1999, SIRA mengadakan serangkaian mobilisasi massa untuk mendukung referendum. Perlahan, usaha SIRA memperoleh dukungan tokoh–tokoh elit di Aceh. Tak kurang dari deklarator GAM Hasan Tiro dan panglimanya Abdullah Syafi’i ikut mendukung referendum sebagai solusi terbaik dibanding mengangkat senjata.

Meski begitu, aktivis SIRA menegaskan keberjarakannya dengan GAM. Muhammad Nazar pun menyatakan bahwa SIRA tidak memiliki kaitan organisasi dengan GAM.

"Indonesia menginginkan Aceh tetap menjadi bagian wilayahnya. GAM ingin Aceh merdeka. Bagi kami yang penting adalah keinginan itu ditransformasikan secara beradab, tanpa harus ada kekerasan," kata Nazar sebagaimana dikutip Kompas (16/2/2003).

Akhirnya Pupus Tak hanya menggema di Aceh, wacana referendum juga menarik minat kalangan elite politik di Jakarta. Kebetulan, munculnya tuntutan ini bertepatan dengan masa kampanye Pemilu 1999. Dengan segera ia jadi alat merebut hati rakyat Aceh.

“Partai Persatuan Pembangunan (PPP) akan memperjuangkan agar pelanggar HAM di Aceh diusut. PPP juga akan memperjuangkan referendum sesuai tuntutan masyarakat setempat. Demikian juru kampanye PPP Ghazali Abbas pada kampanye PPP di Banda Aceh, Kamis (27/5),” tulis harian Kompas (29/5/1999).

Wacana referendum pun direspons positif oleh Abdurrahman Wahid. Masalah Aceh adalah salah satu fokus yang hendak diselesaikan pemerintahannya. Gus Dur berharap setidaknya hal itu bisa menurunkan intensitas konflik di Aceh dan mengusahakan perundingan.

Kampanye referendum Aceh kian membesar memasuki November 1999. Usaha–usaha SIRA ternyata mampu menarik rakyat Aceh untuk memilih penyelesaian konflik dengan jalan damai. Sejumlah pawai referendum berhasil digelar di Kabupaten Aceh Timur, Aceh Utara, Aceh Jeumpa, Aceh Besar, Banda Aceh, Aceh Selatan, Aceh Barat, dan Pidie.

Puncaknya terjadi pada 8 November 1999, kala ratusan ribu rakyat Aceh menyemut di Masjid Raya Baturrahman, Banda Aceh. Dalam apa yang disebut sebagai Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum—disingkat SU MPR, tampaknya sebagai sindiran kepada lembaga yang saat itu dipimpin Amien Rais—massa aksi lebih lantang menuntut referendum bagi Aceh.

Menanggapi aksi rakyat Aceh itu, Gus Dur kembali menunjukkan komitmennya terhadap referendum. Pada 16 November 1999, di tengah lawatannya ke Jepang, Gus Dur menjanjikan akan mempersiapkan referendum itu dalam tujuh bulan.

“Satu bulan diperkirakan untuk memutuskan sikap resmi pemerintah, dan enam bulan untuk mengadakan perundingan–perundingan,” tulis harian Kompas (17/11/1999).

Namun, perlu dicatat, meski Gus Dur menyatakan dukungan, ia punya pemahaman sendiri atas referendum yang berbeda dari yang dikehendaki orang Aceh. Hal itu terungkap kemudian dalam biografi tentang Presiden Gus Dur yang ditulis oleh Greg Barton.

“Secara pribadi, Gus Dur menjelaskan bahwa apa yang ada dalam benaknya bukanlah suatu referendum mengenai kemerdekaan melainkan mengenai bentuk–bentuk otonomi,” tulis Barton dalam Biografi Gus Dur (2017, hlm. 385).

Mendapat angin segar, kampanye referendum pun sampai juga ke Jakarta. Pada 25 November, sekira 3.000 massa dari Forum Perjuangan dan Keadilan Rakyat Aceh (Fopkra) berunjuk rasa di Gedung MPR/DPR. Massa yang merupakan perantauan Aceh di Jawa ini menuntut pemerintah pusat segera melaksanakan referendum di Aceh.

Namun, gerakan yang membesar itu ternyata tak bertahan lama. Pada 9 Desember, DPR secara resmi menyatakan tak akan merekomendasikan referendum kepada pemerintah. Itu artinya, jika Gus Dur berkukuh menyelenggarakan referendum, DPR tak akan memberikan dukungan.

"Tuntutan referendum muncul karena ketidakadilan. Kalau soalnya adalah ketidakadilan, tidak benar bila kita memberikan opsi kemerdekaan," kata Wakil Ketua DPR Soetardjo Soerjogoeritno yang dikutip Kompas (10/12/1999).

Keputusan DPR itu tentu saja memberatkan langkah Gus Dur dan mematahkan optimisme para pendukung referendum.

Pada akhirnya, Gus Dur terpaksa menganulir sendiri dukungannya atas referendum karena kekuatan politik di Senayan tak menyokongnya.

Sejak itu, kampanye referendum melemah dan akhirnya pupus. Aktivis–aktivis SIRA seperti Muhammad Nazar pun kemudian dijebloskan ke penjara atas tuduhan memobilisasi massa untuk makar.

Sumber

0 Komentar

close