Seks Luar Nikah: Wawancara Penulis Disertasi UIN Jogja


Oleh Sidik Sasmita, Alumni UIN Jogja dan penulis tinggal di Jakarta

Sore itu, Minggu (01/08/2019), kami begegas mencari informasi terkait berita yang menghebohkan itu. Di berbagai laman media daring dan WAG kabar ini sudah demikian magnetual. Kabar, bahwa ada seorang kandidat Doktor Islamic Studies di ruang sidang kampus UIN Sunan kalijaga yang nekad mengangkat tema disertasi kontroversial tentang absahnya melakukan hubungan seksual di luar pernikahan, baik bagi yang berstatus lajang maupun yang sudah kawin.

Tidak butuh waktu lama, kami langsung mencari kontak sang calon Doktor dari beberapa kolega. Alhamdulillah dapat. Segera kami layangkan uluk salam sekaligus perkenalan secukupnya lewat whattsapp.

Kami sampaikan bahwa kami ingin melakukan wawancara jarak jauh via phone. Lama tidak berbalas, kami sempat lemas. Khawatir beliau tidak berkenan. Kehawatiran ini cukup beralasan. Di beberapa lini masa cukup banyak netizen yang melancarkan ketidaksetujuannya. Dari mulai dalam bentuk kritikan biasa, sedang hingga tegas bahkan keras dan nyaris bernada ancaman.

Tapi ternyata keresahan kami terjawab. Menjelang magrib notifikasi WA berbunyi. Langsung kami buka; “ya coba mas, sekira jam 9 (malam––red) ya”. Yes! Hati kami pun girang.

Selang empat jam kemudian, yang dinanti pun tiba. Jam 21 lebih dua menit kami kembali kirimkan pesan WA menanyakan kesiapan. Langsung direspons, “monggo, mas”. Maka inilah hasil wawancara kami dengan beliau yang berlangsung sekitar satu jam lebih.

Tetapi maaf sebelumnya, karena materi dan durasi wawancara yang cukup panjang, kami terpaksa membaginya menjadi dua bagian. Berikut petikannya:

–Latar belakang Pendidikan anda?

+S1 IAIN Walisongo Semarang, S2 IAIN Alaudin Ujung Pandang (sekarang Makassar—red), S3 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

–Pernah mesantren?

+Pernah.

–Dimana dan berapa lama?

+Di Alkhairiyah Pekalongan, sekitar empat atau lima tahun

–Masuk pesantren selepas SD atau SMP?

+Setelah lulus SLTA, sambil kuliah.

–Kesibukan sehari–hari?

+Mengajar di kampus IAIN Surakarta

–Mengampu mata kuliah apa?

+Syariah.

–Bisa lebih spesifik?

+Ya, ngajar ilmu–ilmu keislaman seperti Fiqh, Ushul Fiqh, Ulumul Qur`an

–Selain di IAIN, ngajar juga di tempat lain?

+Iya, di STAI Solo, ngajar Civic Education, di STIE ngajar Ekonomi dan Hukum Islam

–Aktif juga di organisasi kemanusiaan?

+Tidak. Hanya minat saja terhadap kajian–kajian hak asasi manusia. Maka saya juga mengajar civic education yang di dalamnya banyak membahas soal HAM

–Aktif di organisasi kemasyarakatan?

+Saya sejak sekolah sudah aktif di IPPNU, kemudian Anshor dan juga sebagai pengurus PCNU Sukoharjo.

–Oke, sekarang kita langsung ke tema ya pak. Apa yang melatari penulisan disertasi anda?

+Kegelisahan saya melihat betapa mengerikannya sanksi yang diterima akibat hubungan seksual non marital (tanpa ikatan perkawinan). Mereka dikriminalisasi, diarak, dipermalukan. Saya kebetulan juga kensern pada isu–isu Hak Asasi Manusia. Hubungan seksual marital atau non marital itu adalah hak asasi manusia. Hubungan seksual non marital karena tidak diakui oleh agama, dampaknya menjadi mengerikan. Di Aceh pada 1999, Ambon 2001, terjadi rajam. 2003 di Nigeria, Pakistan. Wong cuma sekedar suka sama suka. Ini pembelengguan atas akses seksual warga

–Tujuan penulisan?

+Untuk menyediakan ruang hukum bagi para pelaku hubungan seksual non marital, dan juga untuk mengkritisi RUU KUHP PKS tentang Perluasan Pidana Zina. Itulah yg mendorong saya bertanya, sebegitu beratkah hukuman akibat seksual non marital. Kan gak ada yg dirugikan. Antarodin (saling rela)

–Lalu?

+

–Bukankah kita sudah maklum, bahwa hubungan seksual diluar jalur perkawinan adalah sama saja dengan perzinahan?

+Itu kan menurut versi hukum Islam klasik. Syahrur ini mewakili golongan pemikir hukum Islam kontemporer. Kalau masih punya anggapan zina dan lain lain, itu berarti masih terpengaruh produk tafsir ulama klasik.

–Adakah selain Syahrur yang juga mempunyai pandangan serupa terkait hubungan seksual non marital ini?

+Ada, banyak. Mereka yang kemudian membolehkan hubungan seksual melalui nikah mut`ah, nikah misyar, nikah friendy dan lain–lain

–Bukankah dalam Islam kita mengenal syariat poligami sebagai saluran lain (atau saluran tambahan) dalam soal tersebut?

+Saya kurang setuju (poligami –red). Karena ini ada ketidakadilan. Promiskuitas (demi asas seksual) sampai poligami atau poligini. Wong cuma (urusan) seksual saja sampai poligami. Puspowardoyo (Pemilik Ayam bakar Wong Solo –red) sampai mendirikan Poligami Award. Alasannya hanya sekedar takut zina.

–Apa sih sebenarnya yang dimaksud dengan milkul yamin itu?

+Kepemilikan budak untuk bisa digauli di luar jalur perkawinan. Di antara dasarnya adalah dari Al Qur`an surat Al Mukminun ayat 6, “..malakat aymaanukum”. Artinya, boleh kita berhubungan seksual selain kepada istri–istri kita, juga dengan budak perempuan yang kita miliki. Akadnya adalah komitmen kepemilikan.

–Dan sekarang sudah tidak ada system perbudakan?

+Iya, deklarasi HAM internasional pun sudah melarang itu. Makanya kemudian Syahrur menafsirkan makna milkul yamin itu dengan selain makna budak, tetapi dengan partner merdeka. Jadi meskipun budak sudah tidak ada, fungsi ayatnya harus terus ada. Sebab ayat tersebut sudah tidak kontekstual, maka harus dikontekstualkan. Sebab ayatnya ada, tapi faktanya sudah tidak ada.

–Maksudnya, fungsi sebagai penyalur seksualnya harus tetap ada meskipun perbudakan itu sendiri sudah tidak ada, begitu?

+Iya, karena bagi Syahrur ayat alqur`an itu dimaknai seolah–olah ia baru saja turun atau turun satu hari sepeninggal Nabi. Jadi untuk menangkap maksud suatu ayat kita harus seperti hidup pada saat zaman Nabi. Makanya ayat itu harus eksis dan fungsional.
Lantas apakah ayat ini menjadi nganggur dan nggak ada gunanya? Ada, tapi itu tadi, harus dibaca ulang. Dikontekstualisasikan dengan masa sekarang

–Lalu bagaimana menurut Syahrur, makna apa jadi yang menurutnya pas sebagai pengganti kata milkul yamin sebelumnya?

+Pertama–tama Syahrur mencari dulu ayat–ayat al Qur`an yang berbicara soal budak. Hasilnya ditemukan ada sekitar lima belas ayat. Tapi tidak semuanya berbicara atau berkaitan dengan partner hubungan seksual. Contohnya pada ayat surat Al balad, “fakku roqobah”. Jadi budak itu dalam bahasa Al Qur`an lebih banyak menggunakan kata “ar riq”. Nah, Syahrur ini kan pendekatan tafsirnya hermenutik. Menggunakan fiqh lughah yang anti sinonimitas, artinya dia meyakini bahawa tidak boleh ada satu kata diartikan sama jika kata tersebut diulang–ulang dalam Al Qur`an. Setiap kata ada maknanya sendiri–sendiri.

–Lalu hubungannya dengan kata atau ayat milkul yamin tadi?

+Oleh karena itu, karena banyaknya kata atau makna budak di dalam Al Qur`an, yang juga artinya berbeda–beda, maka Syahrur kemudian mengartikan kata budak pada ayat milkul yamin itu adalah sebagai “partner,” tepatnya “partner seksual”. Kenapa seksual, karena konteks ayatnya sedang berbicara soal saluran hubungan seksual yang posisinya satu deretan dengan saluran seksual lewat perkawinan.

–Asbaabun nuzul dari ayat ini apa sebenarnya?

+(berdiam sejenak) wah, maaf, saya tidak membaca ke wilayah itu. Hanya fokus ke teks nya saja. Lagi pula Syahrur tidak menganggap konsep asbaabun nuzul, nasikh mansukh, fiqh ushul fiqh. Syahrur tidak mengakui metodologi tafsir fiqh. Dia menyusun sendiri ushul fiqih nya.

–Kita tahu, Syahrur menempuh studi S1 dan S2 teknik sipil di Moskow (Eropa). Bertahun–tahun dia hidup di lingkungan dengan budaya barat yang dominan. Apakah ada pengaruhnya dengan produk pemikiran Syahrur khususnya yang terkait dengan teori milkul yamin ini?

+Ya, teori itu terpengaruh saat Syahrur kuliah di Universitas Moskow dan Ireland. Pasti ada pengaruh urf (adat kebiasaan –red), historisitas. Itu semuanya tidak akan lepas.

–Kenapa anda memilih Syahrur yang sarjana Teknik sipil itu, bukan tokoh pemikir Islam yang memang berlatar belakang disiplin studi Islam (Islamic studies)?

+ Sebab metode dan analisis faktanya rasional. Pemahaman atau pembacaan kembali Al Qur`an itu rasional. Menggunakan metode dialektik; mendialektikakan antara teks (wahyu), realitas dan akal.

– Apakah Syahrur pernah belajar keilmuan Islam secara formal?

+ Tidak pernah belajar Islam secara formal. Hanya otodidak. Satu–satunya guru Islam yang sering disebutnya adalah Jafar Dak Al Bab.

–Apakah hukum Islam klasik dan Kontemporer tidak bisa diselaraskan?+Baik klasik atau kontemporer tidak ada perbedaan dalam soal hubungan seks non marital. Contoh Al Mukminun ayat enam tadi

–Tapi kenapa dalam banyak hal khususnya soal ini terasa sangat bertentangan?

+Syahrur menolak Turats (produk hukum dan pemikiran Islam klasik –red)

–Maksudnya tidak menggunakan hadits dan ilmu alat seperti fiqh dan ushul fiqh?

+Syahrur menciptakan ilmu alatnya sendiri yang berbeda dengan kalangan klasik

–Berarti keterangan dalam banyak hadis yang mengharamkan zinah, misalnya, Syahrur menolak?

+Ya, tidak ada dalam hadis yang menerangkan hukum zinah. Kan kalaupun ada hadisnya, belum tentu juga shahih, kan?

–Contoh, kan ada hadis yang menceritakan Rasulullah menerangkan kriteria perbuatan itu disebut zinah. Yaitu di antaranya berhubungan seksual seperti “ember timba masuk ke dalam sumur”, bagaimana itu?

+Iya. Devinisi zina Syahrur berbeda dengan kalangan klasik

–Apa devinisinya?

+Devinisi zina menurut Syahrur adalah nikahun `alaniyyun atau jinsun `alaniyun. Suatu perbuatan bisa disebut zina kalau melakukan hubungan seksual di tempat terbuka (exhibiz) dan disaksikan oleh minimal empat orang. Suami istri pun kalau berhubungan intim di ruang publik, bagi Syahrur itu zina.

–Dasarnya apa devinisi itu?

+Dari Al Qur`an surat An Nisa, yang menerangkan bahwa janganlah kita menuduh wanita baik–baik berzinah sebelum membuktikannya dengan menghadirkan minimal empat orang saksi. Artinya terlihat jelas oleh banyak orang. Artinya itu terbuka. Setelah syarat itu terpenuhi, baru bisa masuk status hukuman zina.

–Katanya anda juga mengkritik Syahrur?

+Iya. Sebab saya melilhat dia masih bias jender; hanya memberlakukan fungsi milkul yamin untuk kaum laki–laki saja. Padahal laki–laki boleh jadi milik perempuan; dalam arti yg memfasilitasi konsensualnya adalah perempuan. Contoh dalam nikah mut`ah

–yang merupakan produk kalangan Syi`ah––, perempuan menjadi milik laki–laki (ada batas waktunya), tapi dalam nikah misyar –yang merupakan produk kalangan Sunny––, atau kadang disebut sebagai nikah pelancong, laki–laki bisa dimiliki oleh perempuan dengan tidak ada kesepakatan batasan. Atau nikah friend; bisa saling memiliki, atas dasar pertemanan.

*(bersambung)

0 Komentar

close