Menghindari Radikalisme Kelas Menengah

 Dari rangkaian kekerasan yang terjadi, bom bunuh diri yang melibatkan anak-anak dan remaja sangat memprihatinkan kita. Dari alur ini terlihat bagaimana ideologi kekerasan mendorong aksi bom, hingga mensugesti keluarga dan anak-anaknya.

Bahkan, jika dilihat dari akar keluarganya, pelaku aksi bom bunuh diri di Surabaya berasal dari keluarga kelas menengah, terdidik, dan memiliki akses ekonomi memadai.

Radikalisme telah merasuk di kalangan kelas menengah yang memiliki akses sumber daya, dan dari kelompok terdidik. Survei Alvara Research Center dan Mata Air Foundation pada 2017 lalu membuktikan pendapat ini.

Survei dilakukan terhadap 1.200 responden di 6 kota besar: Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, dan Makassar. Responden dari survei berasal dari kelompok PNS, profesional, dan kalangan BUMN. Survei diselenggarakan pada 10 September hingga Oktober 2017 melalui wawancara tatap muka.

Dari survei itu terlihat bahwa hubungan antara agama dan negara, terutama dalam konteks kepemimpinan. Sejumlah 29,7% responden tidak setuju pemimpin non-muslim: golongan PNS (31,3%), profesional swasta (25,9%), dan karyawan BUMN (25,9%).

Isu pemimpin non-muslim masih sangat sensitif di kalangan profesional dan kelas menengah, yang menunjukkan bagaimana persepsi sekaligus pola interaksi antaragama di kalangan mereka.

Menariknya, isu khilafah dan negara Islam menjadi konsentrasi penting dari kelompok profesional. Sebanyak 29,6% profesional menyatakan setuju dengan model ini. Namun, ketika dikerucutkan menjadi khilafah sebagai bentuk negara, hanya 16% kelompok profesional yang setuju.

Di sisi lain, kelompok PNS yang setuju dengan ideologi Islam sebagai bentuk negara termasuk tinggi, yakni 19,4%. Angka ini jauh lebih besar dibandingkan data profesional swasta (9,1%), dan kalangan pekerja BUMN (18,1%).

0 Komentar

close