Rancangan Qanun Poligami di Aceh Diklaim Justru Akan Persulit Pria Berpoligami


Banda Aceh - Sejumlah kalangan dan perempuan di Nangroe Aceh Darussalam (NAD) menolak Rancangan Qanun yang akan melegalkan poligami. Aturan ini dinilai akan semakin mempromosikan praktek pria beristeri lebih dari satu di masyarakat.

Rancangan Qanun (Raqan) Hukum Keluarga yang sedang digodok oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) langsung menuai pro dan kontra karena memuat sejumlah pasal yang mengatur ketentuan beristeri lebih dari satu orang alias poligami.

Total ada lima pasal yang mengatur soal poligami pada Bab VII dalam Raqan tersebut. Pasal pertama secara tegas membolehkan seorang pria di NAD pada waktu yang bersamaan untuk beristeri lebih dari 1 (satu) orang dan dilarang beristeri lebih dari 4 (empat) orang.

Sedangkan pasal selebihnya mengatur mengenai ketentuan dan mekanisme pria yang hendak melakukan poligami.

Jika rancangan qanun ini disetujui, NAD akan menjadi provinsi pertama di Indonesia yang akan melegalkan poligami.

Sejumlah perempuan Aceh kepada wartawan ABC Indonesia di Jakarta, Iffah Nur Arifah mengungkapkan kekhawatiran dan catatan mereka menyikapi raqan poligami ini, meski mengakui aturan ini memang dibolehkan dalam ajaran Islam.

Warga kecamatan Idi Rayeuk, Aceh Timur bernama Cut Ratna (45 tahun) mengaku tidak setuju dengan Qanun ini.

"Nanti kalau dilegalkan, saya khawatir makin leluasa laki–laki menikah lagi, karena udah diatur dalam qanun kan. Isteri cukup satu sajalah gak usah banyak–banyak yang diurus suaminya. Kalo zaman Nabi, mungkin bisa adil, tapi kalau kita sekarang, susah adilnya, namanya manusia, kayaknya cuma nafsu aja," tegas ibu rumah tangga ini.

Sementara perempuan Aceh lainnya, Safrida (50 tahun) asal Peudada, Bireun mengaku tidak keberatan karena poligami telah diatur dalam Al Qur'an. Namun tetap ia berharap ada syarat yang ketat bagi yang hendak berpoligami.

"Tapi harus ada syaratnya yang sedetil–detilnya, kalau gak nanti perempuan aja yang dirugikan. Biar laki–laki jangan sembarangan kali kawin, mentang–mentang udah ada di Qanun dan legal, orang laki jadi mudah menikah lagi. Karena kita kawin ada anak, kekmana nanti anak kita urus, jadi gak bisa sembarangan." Kata perempuan berprofesi guru itu.

Sedangkan warga lainnya Mahmidar, 44 tahun, asal Lhoksukon, Aceh Utara menilai lebih baik hak poligami diserahkan ke masing–masing pribadi warga, tanpa perlu diatur pemerintah.

"Sebenarnya biarpun gak dibuat aturan itu, udah banyak laki–laki yang kek gitu kan, jadi buat apa lagi aturannya? Udah jalani aja seperti biasanya. Siapa yang mau silakan, semua tergantung pribadi masing–masing dan situasi di rumah tangganya bagaimana." tandasnya.
Bentuk promosi poligami

Rancangan Qanun Hukum Keluarga sebenarnya sudah dibahas sejak akhir tahun 2018 lalu. Dan saat ini tinggal dibawa ke rapat dengar pendapat umum (RDPU) pada awal Agustus 2019 mendatang.

DPRA Aceh sendiri berdalih salah satu alasan perlunya poligami diatur secara khusus dalam rancangan Qanun ini adalah karena maraknya kasus nikah siri di Aceh saat ini, sementara hukum Islam membolehkan seorang suami memiliki lebih dari satu istri.

Namun alasan ini dinilai tidak relevan oleh aktivis perempuan Aceh yang juga mantan anggota komisioner Komnas Perempuan, Samsidar.

"Kalau disebut untuk antisipasi nikah siri, penyelesaiannya bukan poligami. Isu nikah siri di Aceh itu kompleks itu dulu banyak terjadi karena pada masa konflik institusi pemerintahan termasuk KUA tidak berfungsi, sehingga banyak orang menikah siri, dan bahkan program isbat nikah untuk mengatasi masalah itu saja sampai sekarang belum terselesaikan oleh pemerintah Aceh." Kata Samsidar.

Aktivis perempuan Aceh yang juga salah seorang penyusun naskah akademik dan draf rancangan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) ini menambahkan rancangan Qanun ini berisiko semakin merugikan pihak perempuan lantaran memuat sejumlah pasal karet yang multitafsir dan mengabaikan hak perempuan untuk menolak di poligami.

"Pada salah satu pasalnya diatur syarat poligami adalah mampu bersikap adil. Pertanyaannya siapa yang nanti akan memberikan penilaian dia mampu berlaku adil? Kan adil itu sesuatu yang akan terjadi kemudian, bukan sebelum poligami? Gimana caranya mengukur mampu adil kalau belum terjadi. Kalau udah terjadi udah dipoligami namanya," tambahnya.

Ia juga menyoroti ketentuan dalam salah satu pasal di Bab Poligami yang membolehkan pria menikah lagi meski tanpa izin atau persetujuan isteri atau isteri–isteri lainnya jika salah satu saja dari sejumlah syarat yang membolehkan Mahkamah Syari'ah untuk menerbitkan izin bagi seorang pria untuk berpoligami sudah terpenuhi.

"Selama ini kalau mau jujur poligami banyak terjadi di luar persetujuan istri. Jadi ada pemalsuan izin dll, kalau pada UU Perkawinan yang jelas mengatur ketentuan harus ada izin isteri sah saja diabaikan ketentuan itu, apalagi dengan Qanun ini yang memberikan peluang boleh tanpa izin isteri untuk menikah lagi. Jadi terus terang bagi saya ini hanya bentuk promosikan poligami dan mengabaikan hak–hak perempuan," tegasnya.

Samsidar mengingatkan Komisi VII DPRA kalau masih banyak isu kesejahteraan sosial lainnya yang lebih krusial untuk diprioritaskan ketimbang urusan poligami.

Ia merujuk pada masih tingginya angka kasus KDRT terhadap perempuan di Aceh serta kasus kesehatan dan kemiskinan perempuan.

Pegiat anti kekerasan terhadap perempuan ini menuding raqan itu hanya akan menguntungkan pria yang memiliki kecenderungan untuk berpoligami, termasuk sejumlah elit di NAD yang diketahui berpoligami.

Karenanya dia mengingatkan konsekwensi lanjutan dari aturan ini terhadap anggaran pemerintah.

"Kalau itu sudah ada dalam qanun, maka pejabat yang beristeri lebih satu, berarti harus dibiayai oleh negara juga dong. Konsekwensinya begitu karena kan ada tunjangan isteri kalau di Aparat Sipil Negara (ASN), bisa jadi nanti advokasinya akan seperti itu. Nanti ini bisa merembet ke provinsi lain."

Atas sederet pertimbangan ini Samsidar mengatakan Rancangan Qanun ini harus ditolak. Dia juga mempertanyakan tidak adanya naskah akademik yang menjadi salah satu syarat penyusunan aturan hukum di tanah air.

Menanggapi kritik dan kekhawatiran dari kalangan perempuan ini, Wakil Ketua Komisi VII DPRA Musannif mengatakan aturan ini justru hendak melindungi perempuan dari praktek poligami yang dilakukan seenaknya oleh laki–laki.

Ia pun menampik keras tudingan raqan ini justru akan semakin mempromosikan poligami.

"Syariat Islam memang mengatur pria boleh beristeri dua tiga atau empat, tapi sampai di situ di kunci, gak diteruskan. Padahal ayat selanjutnya di QS. An Nisa berbicara tentang keadilan. Jadi kita mau bicara soal keadilan, jangan cuma mau beristerinya aja 2,3,4, tapi keadilannya gak mau tau. Akhirnya lelaki hidung belang seenaknya aja kawin siri, siapa yang jadi korban? Lagi–lagi perempuan dan anak," kata politisi dari Partai Persatuan Pembangunan ini.

Musannif menegaskan raqan ini justru akan semakin mempersulit pria untuk berpoligami karena persyaratan berlapis yang diatur untuk mendapatkan izin berpoligami. Mulai dari mampu secara jasmani, mampu secara finansial yang dibuktikan dengan bukti penghasilan dari pekerjaan, izin isteri sampai izin Mahkamah Syari'ah.

"Makanya kami atur semuanya, jangan mentang–mentang udah dapat izin isteri langsung dia bisa nikah lagi, enggak gitu. Masih ada lagi yang harus dilewati yakni Mahkamah Syari'ah, mahkamah tinggi agama. Dia harus dapat izin dari hakim dan ini berat. Bukan hal ringan," tandasnya.

Mussannif meminta semua pihak menyikapi raqan ini dengan kepala dingin. Dia juga mengingatkan masih terbuka peluang bagi semua pihak untuk memberi masukan termasuk menolak raqan ini. Karenanya dia meminta semua pihak untuk hadir dalam sidang rapat dengar pendapat umum (RDPU) pada awal Agustus 2019 mendatang.

Selain mengatur soal poligami, Raqan Hukum Keluarga juga mengatur tentang perkawinan, perceraian, dan perwalian.



Sumber

0 Komentar

close