Isu Bisnis Borong Tanah di Ibu Kota Baru RI, Ini Tanggapan Gubernur Kalimantan Timur


Presiden Joko Widodo resmi menetapkan wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kaputan Penajam Paser Utara, Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim), sebagai lokasi baru ibu kota Indonesia sebagai pengganti Jakarta.

Gubernur Kaltim Isran Noor termasuk tokoh yang menarik perhatian publik, apalagi ia ikut hadir di Istana Presiden ketika Jokowi mengumumkan lokasi yang dipilih sebagai ibu kota baru pada Senin (26/8) lalu.

Berikut petikan wawancara eksklusif Tim Tribun Kaltim dengan Isran Noor di ruang Kerjanya, Kantor Gubernur Kaltim, Samarinda, Rabu (28/8).

Lahan lokasi ibukota negara adalah milik negara. Ya, pasti ada masyarakat yang tinggal di lahan negara.

Namun itu tidak terlalu sulit. Pasti akan ada biaya penataan atau relokasi. Tidak terlalu membebani negara dan pemerintah daerah karena kawasan lahan tersebut milik negara.

Beda jika warga menempati lahan dan memiliki dokumen kepemilikan seperti sertifikat hak milik.

Tidak bisa orang berspekulasi. Pasti akan ketahuan. Strategi Pak Jokowi itu sangat cerdas. Proses kajian hingga pengumuman lokasi baru ibu kota negara (IKN) sangat cepat.

Jika prosesnya lama, pasti sebagian orang akan tahu mana lokasinya dan memanfaatkannya.

Nah, yang terjadi ini kan sangat cepat.

Kalaupun ada orang yang mencoba, pasti ketahuan. Misalnya membeli tanah sebulan lalu ya ketahuan dan pasti rugi. Negara tidak akan membeli tanah tersebut dan tidak akan mengganti rugi.

Ada kabar pengusaha dari Surabaya atau Jakarta sudah membeli lahan di sana, itu hoax. Nggak bakalan. Di mana pengusaha itu mau membeli? Gantung diri. Itu tanah negara.

Saya akan segera menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub). Saya akan berkoordinasi dengan para bupati dan wali kota untuk mengantisipasinya sambil menunggu payung hukum.

Kami juga menunggu deliniasi atau titik koordinatnya supaya tidak terlalu jauh berbeda dengan yang sudah ditetapkan tim pusat. Mudah–mudahan September 2019 Pergub sudah bisa diterbitkan.

Ya, mungkin ikut support dan berdampak positif. Ini merupakan hal berbeda antara visi Gubernur Kaltim "Kaltim Berdaulat" dengan rencana pemindahan ibu kota negara ke Kaltim.

Saya kira akan ada dampak positifnya. Misalnya dalam visi saya itu ada penerimaan daerah minimal Rp 32 triliun setahun.

Ini penerimaan daerah ya, bukan pendapatan asli daerah (PAD). Sebenarnya tidak terlalu sulit karena itu masuk dalam kawasan pembangunan Kalimantan Timur, itu menjadi pendapatan juga berupa pembangunan infrastruktur. Jadi tidak terlalu sulit dan mudah–mudahan lancar.

Nah, banyak yang bertanya tentang hal ini. Yang pasti, tidak ada lobi–lobi khusus ke pemerintah pusat. Saya hanya menyampaikan dokumen–dokumen yang berisi tentang kondisi alam, kondisi sosial masyarakat, daya dukung lahan dan kondisi lingkungan, kondisi keamanan, dan perkembangan terkini infrastruktur di Kalimantan Timur.

Belakangan seusai saya menghadiri Rapat Koordinasi Nasional Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan di Istana Negara, Jakarta, 6 Agustus 2019, saya diundang ke kantor Bapak Presiden untuk bertemu.

Saat itu disampaikan bahwa Provinsi Kaltim dipertimbangkan oleh Bapak Presiden untuk menjadi lokasi baru ibukota negara.

Ketika pemindahan ibukota negara ke Kaltim dilaksanakan, perubahan yang terjadi sangat besar. Perubahan dan dampaknya sangat besar bukan hanya pada Kaltim, namun juga semua provinsi di Kalimantan, dan seluruh Indonesia.

Posisi Kalimantan yang centris atau di tengah, ini menegakkan sebuah keadilan di Indonesia. Saat ini jika terbang dari Jayapura ke Jakarta sekitar lima jam. Nah, dengan berposisinya IKN di Kaltim, jarak tempuh penerbangan hanya sekitar tiga jam.

Sama halnya dengan ke Banda Aceh. Tapi ini hanya salah di antaranya. Secara perekonomian, berdampak jauh lebih besar bagi Kalimantan. Namun kondisi pro–kontra biasanya terjadilah.

Menurut saya, ini sebuah wujud dari sejarah yang telah dicanangkan oleh Presiden–presiden Indonesia sebelumnya yang akan direalisasikan.

Lingkungan hidup tidak ada masalah. Kan tidak mungkin kami menabrak etika kaidah lingkungan.

Status Bukit Soeharto itu bukan hutan lindung. Kawasan hutan lindung yang ada yakni Hutan Lindung Sungai Wain (HLSW), dan ini benar–benar tidak akan diganggu.

Bukit Soeharto yang merupakan hutan produksi itu saja harus dilakukan revitalisasi kawasan lindungnya. Kalau perlu, kawasan tersebut akan dihijaukan lagi, sehingga menjadi ciri khas kota yang berada di dalam hutan.

Jadi, ibu kota negara berada dalam kawasan hutan. Selama ini ketentuan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di perkotaan minimal 30 persen, kami akan tingkatkan areal RTH 50 persen hingga 70 persen. Wah, cantik kawasan IKN nantinya.

Saya mengamati masyarakat Kaltim umumnya menerima dengan gembira. Masyarakat setuju dan senang. Kawasan ibu kota negara juga penduduknya sangat heterogen. Berbagai etnis ada. Terjadi akulturasi atau perpaduan budaya di sana.


0 Komentar

close