Mahasiswa: Tak Ada Tuntutan Jokowi Lengser, Kami Ingin RKUHP dan UU KPK Dibatalkan


Jakarta - Ribuan mahasiswa dari berbagai kampus akan kembali menggelar unjuk rasa di depan gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (24/9/2019).

Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Jakarta Gregorius Anco membantah anggapan bahwa aksi mahasiswa ditunggangi oleh kepentingan politik tertentu.

Ia menegaskan bahwa selama ini mahasiswa sudah secara tegas menyuarakan tuntutannya, yakni pembatalan Undang–Undang Komisi Pemberantasan Korupsi hasil revisi dan Rancangan Kitab Undang–undang Hukum Pidana ( RKUHP).

Anco menilai kedua rancangan undang–undang tersebut tak sesuai dengan amanat reformasi.

"Tuntutan kami jelas, RUU KPK dan RKUHP dibatalkan karena RUU itu bermasalah dan tidak sesuai dengan reformasi. Kan enggak ada tuntutan turunkan Jokowi," ujar Anco kepada Kompas.com, Senin (23/9/2019).

Secara terpisah, Perwakilan dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Trisakti Edmund Seko mengatakan, pihaknya kembali menggelar aksi dengan jumlah massa yang lebih banyak.

Beberapa perwakilan mahasiswa dari luar Jakarta direncanakan ikut bergabung.

Edmund memperkirakan ada 1.000 mahasiswa Trisakti yang akan turun ke jalan.

"Kurang lebih ada 1.000 mahasiwa dari Trisaksi," ujar Edmund melalui pesan singkat kepada Kompas.com, Senin (23/9/2019).

Setidaknya ada empat poin tuntutan mahasiswa dalam aksinya, yakni:

1. Merestorasi upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme.

2. Merestorasi demokrasi, hak rakyat untuk berpendapat, penghormatan perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia, dan keterlibatan rakyat dalam proses pengambilan kebijakan.

3. Merestorasi perlindungan sumber daya alam, pelaksanaan reforma agraria dan tenaga kerja dari ekonomi yang eksploitatif.

4. Merestorasi kesatuan bangsa dan negara dengan penghapusan diskriminasi antaretnis, pemerataan ekonomi, dan perlindungan bagi perempuan.

Menurut Edmund, mahasiswa akan tetap bertahan di gedung DPR sampai tuntutan mereka dipenuhi.

Paling tidak, pemerintah dan DPR sepakat untuk membatalkan pengesahan rancangan undang–undang yang dianggap bermasalah.

Rapat Paripurna Kosong

Banyaknya kursi kosong mewarnai Rapat Paripurna Masa Persidangan I Tahun 2019–2020 yang berlangsung, Selasa (24/9/2019) siang.

Bila berdasarkan absensi, sebanyak 288 dari 560 anggota DPR RI menghadiri rapat paripurna.

"Berdasarkan absensi yang ditandatangani anggota, 288 dari total 560 anggota hadir dan dihadiri seluruh fraksi maka forum tercapai," ujar Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah memulai rapat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.

Fahri mengatakan, jumlah anggota DPR yang hadir sudah memenuhi syarat untuk membuka rapat paripurna hari ini.

Kemudian, ia mengetuk palu, tanda dibukanya rapat.

Kendati demikian, berdasarkan pantauan Kompas.com pukul 11.57 WIB, hanya sekitar 97 dari 560 anggota DPR yang menghadiri rapat paripurna.

Beberapa kursi anggota dewan pun masih banyak yang kosong.

Adapun, agenda rapat paripurna kali ini adalah pembicaraan tingkat II atau pengambilan keputusan terhadap Rancangan Undang–Undang Pemasyarakatan, RUU tentang Perubahan atas Undang–Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang–undangan.

Selain itu, pembicaraan tingkat II atau pengambilan keputusan tentang RUU APBN Tahun Anggaran 2020 beserta nota keuangan, RUU tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan, RUU tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan, dan RUU tentang Pesantren.

Rapat Paripurna DPR kali ini terbilang istimewa.

Sebab, demonstrasi dilakukan mahasiswa di depan Gedung DPR.

Demonstrasi juga dilakukan secara serentak oleh mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di sejumlah kota.

Mahasiswa menolak sejumlah undang–undang yang sedianya akan disahkan, seperti RKUHP, RUU Pertanahan, dan RUU Pemasyarakatan.

Mereka juga menyatakan menolak atas revisi terhadap Undang–Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang disahkan pekan lalu, 17 September 2019.

Sejumlah pembahasan yang dilakukan dengan sangat cepat dan tak transparan membuat demonstrasi dilakukan, karena mahasiswa menilai DPR telah mengorupsi demokrasi.
Sumber

0 Komentar

close