Lengserkan Jokowi Hanya Mimpi di Siang Bolong

Mosi tidak percaya terhadap pemerintahan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) sebagaimana yang diteriakkan oleh massa aksi penolak pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker) ibarat mimpi di siang bolong.

Anggota Komisi I DPR RI, Mayjen TNI (purn) TB Hasanuddin menegaskan, 'mosi tidak percaya' tidak akan mungkin mampu melengserkan Jokowi. Sebab 'mosi tidak percaya' hanya berlaku di negara yang menganut sistem parlementer, sedangkan Indonesia menganut sistem presidensial bukan parlementer. 

"(Apalagi) melihat komposisi koalisi fraksi-fraksi pendukung presiden di DPR, rasanya seperti mimpi di siang bolong kalau kemudian ada yang bercita-cita melengserkan presiden pilihan rakyat," tegas Hasanuddin dalam keterangan tertulisnya, Rabu (14/10/2020).

Karenanya, ditegaskan pula oleh Anggota Fraksi PDI Perjuangan ini, 'mosi tidak percaya' yang dikumandangkan oleh gabungan massa buruh dan mahasiswa tersebut sama sekali tidak akan mampu menggoyahkan kursi kepresidenan yang diduduki oleh Jokowi.

"Tidak mudah menurunkan presiden pilihan rakyat. Proses pemakzulan presiden cukup sulit," tegas Hasanuddin lagi.

Lebih lanjut dia menjelaskan, sekalipun memiliki parlemen seperti MPR, DPR, dan DPD RI, masing-masing dari mereka memiliki perbedaan dengan tugas dari parlemen dengan sistem parlementer.

Adapun, dalam politik di dalam negeri, pernyataan 'mosi tidak percaya' merupakan pernyataan tidak percaya dari DPR kepada kebijakan pemerintah. Hal itu merupakan perwujudan dari hak-hak DPR pasal 77 ayat 1 UU 27/2009 terkait penggunaan hak interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat.

Perlu diketahui, dari 9 partai yang masuk ke DPR RI, 7 partai diantaranya merupakan partai yang masuk ke jajaran pemerintahan. Dengan demikian, Kang TB, panggilan akrab TB Hasanuddin menegaskan, pemakzulan pemerintahan Presiden Jokowi tidak akan mungkin mampu dilakukan.

Kalaupun terjadi, diuraikannya bahwa mekanismenya yaitu DPR harus menggunakan hak menyatakan pendapat untuk menyatakan pendapat atas kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di dalam atau di luar negeri, terdapat dugaan presiden dan/atau presiden melakukan pelanggaran hukum atau penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, maupun tindakan tercela (UU MD3, pasal 79 ayat 4). Hak menyatakan pendapat ini diusulkan oleh minimal 25 orang anggota DPR, dan dua fraksi.

"Dan bila memenuhi persyaratan administrasi dapat dilanjutkan dalam sidang paripurna," imbuhnya.

Adapun keputusan tersebut, sesuai UU MD3, pasal 210 ayat 1 dan 3, ditekankannya hanya akan sah bila dihadiri oleh minimal 2/3 dari jumlah anggota DPR dan minimal 2/3 dari jumlah itu menyetujuinya.

Selanjutnya, jika paripurna menyetujui, sesuai UU MD3, pasal 212 ayat 2, maka wajib dibentuk Panitia Khusus (Pansus) yang anggotanya terdiri dari semua unsur fraksi di DPR. Setelah itu, Pansus akan bekerja selama paling lama 60 hari.

"Hasilnya kemudian dilaporkan dalam rapat paripurna DPR," imbuh Kang TB.

Bukan hanya itu, setelah mendengarkan laporan Pansus, sebagaimana diatur dalam UU MD3, Pasal 213 ayat 1 dan Pasal 214 ayat 4, keputusan rapat paripurna dianggap sah bila anggota yang hadir minimal 2/3 dari jumlah seluruh anggota DPR dan disetujui oleh 2/3 anggota yang hadir.

Kemudian setelah paripurna menyetujui, sesuai UU MD3, Pasal 215 ayat 1, hasil rapat harus dilaporkan ke MK disertai bukti dan dokumentasi pelengkapnya. MK kemudian bersidang, dan bila MK menyatakan terbukti maka DPR menyelenggarakan rapat paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR," ungkapnya.

Kemudian, tambahnya, sesuai UU MD3, pasal 38 ayat 3, MPR lalu melakukan sidang paripurna untuk memutuskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden oleh DPR. Selanjutnya keputusan MPR terhadap pemberhentian tersebut dinyatakan sah apabila diambil dalam sidang paripurna MPR yang dihadiri paling sedikit 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh paling sedikit 2/3 dari jumlah anggota yang hadir.

Untuk itu, Kang TB menekankan bahwa seruan 'mosi tidak percaya' yang bertujuan untuk melengserkan Jokowi, apalagi disertai dengan demo anarkis, dapat disangkakan pasal makar.

"Inilah demokrasi yang kita sepakati dan menjadi kesepakatan nasional yang harus kita taati bersama," tukasnya.

Perlu diketahui, enam partai di parlemen yang ada dalam barisan pemerintahan adalah PDI Perjuangan, Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, dan PPP. 

Adapun partai yang tidak berada di jajaran kabinet hanya tiga, yaitu PKS, Demokrat dan PAN. Dari tiga partai itu, hanya PKS dan Demokrat yang tegas menyatakan penolakan atas pengesahan UU Ciptaker belum lama ini.

Berikut komposisi kursi di DPR RI yang sesuai dengan urutan banyaknya kursi di sana;

PDIP: 128 kursi

Golkar: 85 kursi

Gerindra: 78 kursi

NasDem: 59 kursi

PKB: 58 kursi

Demokrat: 54 kursi

PKS: 50 kursi

PAN: 44 kursi

PPP: 19 kursi source

0 Komentar

close