Moeldoko Singgung DNA Prajurit dan Ambisi Politik Purnawirawan

Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko, menyinggung aksi yang belakangan digencarkan . Moeldoko yang juga sama–sama eks Panglima TNI, mengatakan manuver Gatot perlu dipahami secara jernih.

Sebagai prajurit yang meniti karir dari bawah, jenderal bintang empat ini memahami setiap peristiwa demi peristiwa, terutama terkait pernyataan Gatot mengenai kebangkitan PKI.

"Saya sebagai pemimpin yang dilahirkan dari akar rumput bisa memahami peristiwa demi peristiwa. Mengevaluasi peristiwa demi peristiwa. Tidak mungkin datang secara tiba–tiba. Karena spektrum itu terbentuk dan terbangun tidak muncul begitu saja. Jadi jangan berlebihan sehingga menakutkan orang lain," kata Moeldoko, Kamis, 1 Oktober 2020.

Moeldoko bilang, isu PKI pada masa lalu adalah peristiwa besar yang kemudian menjadi komoditas untuk kepentingan tertentu. Ada dua pendekatan yang mestinya dilakukan untuk membangun kewaspadaan. Kewaspadaan untuk menentramkan atau kewaspadaan yang menimbulkan ketakutan.

Seorang prajurit, kata dia, punya kemampuan membangun kewaspadaan karena punya bekal kelebihan yang berbeda dengan kebanyakan orang. Yang disebut kelebihan itu, disebutnya, adalah DNA Intelijen, DNA Antisipasi, DNA Kewaspadaan dan seterusnya.

"Bedanya di situ. Tinggal kita melihat kepentingannya. Kalau kewaspadaan itu dibangun untuk menenteramkan maka tidak akan menimbulkan kecemasan. Tapi kalau kewaspadaan itu dibangun untuk menakutkan, pasti ada maksud–maksud tertentu. Nah, Itu pilihan–pilihan dari seorang pemimpin. Kalau saya memilih, kewaspadaan untuk menenteramkan," ujarnya.

"Menghadapi situasi saat ini apalagi di masa pandemi, membangun kewaspadaan yang menenteramkan adalah sesuatu pilihan yang bijak," kata Moeldoko.

Mantan Panglima TNI ini pun mengingatkan tentang Sapta Marga dan Sumpah Prajurit milik TNI. Ia tak heran, jika seorang sudah pensiun atau purnawirawan, akan ada banyak hal yang mempengaruhi sehingga melenceng dari kewajibannya ketika berdinas di militer.

"Maka saya jadi tidak yakin kadar Saptamarga–nya masih melekat seratus persen karena dipengaruhi kepentingan–kepentingan. Tergantung dari orang yang bersangkutan. Seseorang bisa berbeda kalau sudah bicara politik, bicara kekuasaan, bicara achievement, karena ada ambisi," kata Moeldoko. source

0 Komentar

close