Kudeta Myanmar: Militer Terapkan 'Taktik Pertempuran' Hadapi Pengunjuk Rasa, kata Amnesty

Di sebuah jalan yang sibuk di Yangon, polisi sedang mengawal seorang pria ketika terdengar tembakan di belakangnya.

Pria itu tampaknya ditahan dan tidak menunjukkan perlawanan — kemudian tiba-tiba seorang aparat keamanan menembaknya dari belakang, menendangnya saat dia terbaring di tanah.

Baca Juga: Bawa 1 Kg Sabu, 2 Warga Aceh Ditangkap di Bandara Kualanamu

Kelompok hak asasi manusia Amnesty International telah memverifikasi lebih dari 50 video insiden kekerasan yang beredar di media sosial. Getty Images

Insiden ini, yang terekam dalam video, adalah satu dari lusinan yang telah dilaporkan semenjak kudeta militer di Myanmar pada 1 Februari yang menyebabkan para pengunjuk rasa turun ke jalan.

Tindakan kekerasan terhadap aksi protes ini telah menewaskan lebih dari 70 orang, menurut perkiraan PBB.

Namun militer, atau Tatmadaw, berkeras bahwa pasukan keamanan mampu menahan diri dalam menghadapi "tindakan rusuh para pengunjuk rasa" yang mereka tuduh menyerang polisi.

Baca Juga: Aliran Sesat Hakeko Jalankan Ritual Seks hingga Dijanjikan Masuk Surga

'Jelas tindakan salah'

Dalam laporan terbaru, kelompok hak asasi manusia Amnesty International telah memverifikasi lebih dari 50 video insiden kekerasan yang beredar di media sosial.

Berdasarkan bukti ini, walaupun pasukan keamanan juga menerapkan taktik tidak mematikan terhadap pendemo, mereka disebutkan meningkatkan penggunaan senjata untuk digunakan dalam medan perang.

Milter Myanmar juga dianggap menggunakan kekuatan mematikan dalam menghadapi para pemrotes pada pekan-pekan terakhir.

Baca Juga: Viral Video Sepasang Pelajar Mesum di Pinggir Jalan Siang Bolong

Beberapa kasus kematian pengunjuk rasa di tangan aparat militer dan polisi masuk dalam kategori tindakan eksekusi di luar hukum, kata Amnesty.

Dalam satu video, seorang anggota Tatmadaw di Dawei terlihat meminjamkan senapannya kepada seorang petugas polisi yang ditempatkan di sampingnya.

Aparat polisi itu lantas berjongkok, membidik dan menembak, dan disambut sorak-sorai anggota lainnya di sekitarnya.

Beberapa pengunjuk rasa di Yangon, kota terbesar di Myanmar, telah mengkonfirmasi kepada BBC bahwa mereka telah melihat aparat militer menembakkan peluru tajam ke arah kerumunan demonstran, yang menyebabkan kematian dan cedera.

Amnesty mengatakan militer telah menggunakan berbagai senjata di berbagai aksi protes — dari senapan sniper hingga uzi. Terkadang mereka memuntahkan pelurunya tanpa pandang bulu.

Satu potongan video memperlihatkan pasukan keamanan di kota Mawlamyine mengendarai truk dan diduga menembakkan peluru tajam secara acak, termasuk yang diarahkan ke beberapa rumah.

Sejumlah warga Yangon, yang tidak terlibat dalam aksi protes, juga mengatakan kepada BBC bahwa rumah mereka telah ditembaki oleh pasukan keamanan.

Amnesti juga mengungkapkan keprihatinannya perihal penempatan unit militer yang sebelumnya diduga terlibat dalam kejahatan perang terhadap komunitas etnis seperti Rohingya.

"Mereka adalah anggota militer dan komandan yang memiliki catatan sangat buruk dan mengkhawatirkan dalam hal pertempuran militer.

"Penempatan mereka untuk melatih aparat kepolisian merupakan kesalahan," kata Joanne Mariner, salah-seorang pimpinan Amnesty.

"Jelas sekali militer tidak setuju dengan apa yang disuarakan pelaku protes, tetapi di bawah hukum internasional mereka memiliki hak untuk mengungkapkan pandangan mereka secara damai," tambahnya.

'Tidak boleh gunakan senjata api'

Di bawah hukum internasional dan standar PBB, pasukan keamanan tidak boleh menggunakan senjata api dalam menghadapi pengunjuk rasa, kecuali ada ancaman kematian atau cedera serius, dan alternatif yang tidak terlalu berbahaya tidak tersedia.

Sebaliknya, "aturan kekuatan minimum" harus diterapkan pada pengunjuk rasa, kata Ian Foxley, peneliti di Centre for Applied Human Rights, Universitas York.

Tapi senjata api hanyalah bagian sistem persenjataan junta militer.

Dokumen anggaran pemerintah dari dua tahun fiskal terakhir, seperti dilaporkan New York Times, menunjukkan militer mengalokasikan jutaan dolar untuk teknologi pengawasan — termasuk drone, peretasan perangkat lunak, dan alat untuk melacak lokasi warga secara real time.

Militer juga menargetkan akses internet selama kudeta, dan menutup akses ke berbagai situs web dan media sosial, termasuk Facebook.

Para kritikus menunjukkan bahwa kemampuan teknologi ini telah memberikan kekuatan yang luas kepada militer untuk memantau warga sipil dan mengoordinasikan tindakan terhadap para demonstran.

Dengan jumlah kematian yang meningkat, lembaga advokasi seperti Justice for Myanmar menyerukan agar diberikan sanksi terhadap Tatmadaw dan kepentingan bisnisnya yang luas.

"Mengingat pembunuhan yang sistematis dan eksesif serta persenjataan yang secara historis telah digunakan terhadap komunitas etnis selama beberapa dekade, Dewan Keamanan PBB harus segera memberlakukan embargo senjata global," tambah kelompok itu. source

0 Komentar

close