Waspadai Serangan Pinjaman Online Ilegal via Jual Beli Selfie KTP

Jika menerima pesan singkat lewat ponsel yang isinya menawarkan pinjaman, sebaiknya tidak perlu menanggapinya. Apalagi mengikuti perintah untuk menghubungi via WhatsApp (WA).

Lebih baik abaikan saja atau langsung hapus pesan tersebut. Sebab, belakangan ini tengah marak jual beli selfie (swafoto) kartu tanda penduduk (KTP) secara tidak sah di platform media sosial (medsos).

Penawaran dari sejumlah pinjaman online (pinjol) ilegal melalui layanan pesan singkat atau short message service (SMS) merupakan salah satu cara lintah darat menawarkan secara terang-terangan kepada calon debitur. Kemungkinan terlintas dalam benak si penerima pesan: Mereka dapat nomor ponsel dari mana?

Bagi penerima pesan yang terdesak dengan kebutuhan, kemungkinan langsung merespons dengan mengikuti perintah yang terdapat dalam SMS. Di sinilah mereka mulai terjerat pinjol ilegal yang merupakan metamorfosis lintah darat.

Pinjol ilegal ini tampaknya punya cara lain ketika menjebak mangsanya dengan memanfaatkan foto KTP selfie. Korban menerima transfer uang dengan jumlah tertentu, padahal pemilik rekening tidak merasa pinjam.

Selang beberapa waktu kemudian, sejumlah penagih utang (debt collector) mendatangi rumahnya dengan menyodorkan tagihan utang dengan bunga tinggi. Kasus ini pun sempat viral di medsos.

Belakangan ini informasi kumpulan swafoto orang-orang yang sedang memegang foto KTP beredar di dunia maya, salah satunya platform Twitter. Selama ini, swafoto sambil memegang KTP merupakan salah satu metode verifikasi yang sering dilakukan ketika mendaftar layanan yang berhubungan dengan finansial. Foto-foto tersebut diduga diperjualbelikan di dunia maya.

Penelusuran Lembaga Riset Siber Indonesia CISSReC di bawah pimpinan Doktor Pratama Persadha lantas melakukan tracing (menelusuri) asal mula jual beli foto KTP selfie di platform medsos. Terungkap jual beli data tersebut bermula dari vendor yang membantu verifikasi dari berbagai aplikasi.

Bahkan, tidak hanya aplikasi populer semacam dompet digital, tetapi aplikasi seperti PLN mobile juga membutuhkan foto KTP selfie untuk verifikasi. Untuk membantu verifikasi ini, ternyata diperbantukan pihak ketiga sebagai vendor.

Selain itu, ada yang berasal dari kebocoran pinjol ilegal juga, dan jumlahnya relatif cukup banyak. Hal ini terjadi, menurut pakar keamanan siber Pratama Persadha, karena mereka tidak concern terhadap security sehingga para pelaku kejahatan siber mudah sekali meretasnya.

Dalam kasus yang pertama kali viral adalah saat pegawai vendor yang melakukan verifikasi akun OVO, ternyata langsung melakukan kontak via WhatsApp kepada orang yang datanya sedang dia verifikasi. Celah inilah yang juga dimanfaatkan dengan menjual foto KTP selfie ke pinjol ilegal.

Sebenarnya, ada dua hal yang dilakukan, yakni pertama pinjol transfer ke rekening pemilik KTP asli dengan harapan nantinya bisa menagih dengan bunga tinggi. Kedua, pelaku yang memiliki foto KTP selfie ini bisa saja membuat rekening palsu, kemudian melakukan apply ke pinjol dan transfer ke rekening yang mereka buat. Kedua hal ini sama-sama sangat merugikan masyarakat.

Seharusnya, menurut Pratama, Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bisa menjadi solusi. Namun, sayangnya rencana menjadikan debitur financial technology (fintech) masuk SLIK OJK masih belum terealisasi. Kelak yang nantinya bisa masuk hanya debitur fintech yang terdaftar resmi di OJK, sedangkan fintech pinjol ilegal jelas tidak bisa.

Namun, fintech sendiri bisa memasukkan debitur hitam yang wanprestasi ke black list OJK. Hal ini tentunya menjadi masalah utama bila masyarakat berurusan dengan fintech pinjol ilegal. Mereka tidak bisa mendaftarkan debitur ke OJK.

Dengan demikian, sejak awal mereka memilih "jalan pedang" dengan debt collector. Masalahnya, sejak awal memang pinjol ilegal ini seperti lintah darat mengambil keuntungan dari bunga yang sangat besar.

Diakui oleh Pratama, relatif sulit untuk dicek karena tidak masuk SLIK OJK dan BI Checking atau pencatatan informasi dalam sistem informasi debitur yang berisikan riwayat kelancaran atau non performing credit payment atau collectability (ketertagihan) debitur.

Banyak kerugian yang bisa ditimbulkan oleh masyarakat di Tanah Air karena di sana ada banyak data. Jika data tersebut diolah oleh orang yang tahu cara memanfaatkannya, akan menimbulkan banyak kerugian.

Kerugiannya tersebut tidak bisa dinilai dengan begitu mudah karena bisa jadi angka kerugiannya jauh lebih besar daripada yang diberitakan atau dilaporkan oleh masyarakat melalui medsos. Jual beli data pribadi yang ditawarkan di media sosial rata-rata dihargai mulai dari Rp 15 ribu sampai Rp 25 ribu, atau tergantung pada kelengkapan identitas yang ada dan baru atau lamanya data tersebut.

Makin lengkap dan fresh data pribadi itu maka akan makin mahal pula harganya. Biasanya harga tersebut sudah menjadi satu paket dengan foto KTP, paspor, foto selfie, bahkan nomor induk kependudukan (NIK) dan kartu keluarga (KK). (antara)

0 Komentar

close