LDII Ingatkan Pentingnya Peran Generasi Muda Cegah Bencana Lingkungan di Masa Depan

Peningkatan ancaman perubahan iklim dan bencana alam menjadi perhatian yang mendalam bagi berbagai pihak. LDII, yang telah fokus pada pelestarian lingkungan sejak tahun 2007, menekankan pentingnya peran generasi muda dalam mencegah pemanasan global dan perubahan iklim.

DPP LDII menggelar Webinar Internasional Lingkungan Hidup yang bertema "Kontribusi Generasi Muda dalam Mengurangi Dampak Perubahan Iklim untuk Kehidupan di Bumi yang Lebih Baik". Foto: LINES.

"Pada tahun 2007, LDII menyelenggarakan 'Aksi Penanaman Serentak Indonesia dan Pekan Pemeliharaan Pohon' di Desa Cibadak, Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Kegiatan ini menjadi awal pergerakan Bulan Menanam Nasional yang diadakan setiap bulan Desember," ungkap KH Chriswanto Santoso, Ketua Umum DPP LDII.

Gerakan "LDII Go Green" telah berhasil menanam lebih dari 4 juta pohon dan berupaya mengembangkan arboretum di Perkebunan Teh Jamus, Ngawi, Jawa Timur. Sebagai tindak lanjut dari inisiatif Go Green, DPP LDII meluncurkan program yang melibatkan generasi muda dalam upaya pencegahan pemanasan global. Pada Sabtu (24/4), mereka mengadakan webinar internasional.

Acara tersebut menghadirkan Prof. Cordia Chu dari Griffith University, Australia. "Kami menyadari bahwa peran generasi muda sangat penting dalam menjaga keberlanjutan alam dan menciptakan masa depan yang lebih baik," kata KH Chriswanto.

Webinar tersebut diharapkan dapat memberikan dampak yang signifikan terhadap pelestarian lingkungan. Ketika umat Islam berupaya untuk melestarikan lingkungan, mereka juga turut menyelamatkan keseluruhan umat manusia. "Dengan menjaga ekosistem, kita memberikan oksigen dan air yang penting bagi umat manusia. Upaya ormas Islam dalam melestarikan lingkungan juga berkontribusi terhadap kehidupan yang lebih panjang dan sehat bagi manusia," harap KH Chriswanto.

LDII juga mendorong kolaborasi antargenerasi, di mana pemimpin dan tokoh masyarakat berperan sebagai mentor bagi generasi muda dalam upaya pelestarian lingkungan. "Kerja sama erat antara generasi muda dan orang dewasa akan memperkuat gerakan pelestarian lingkungan dan membawa perubahan yang signifikan," tambahnya.

Prof. Cordia Chu, Direktur Centre for Environment and Population Health School of MDP Medicine Griffith University, Australia, mengapresiasi komitmen LDII. 

Ia menyatakan bahwa LDII sebagai organisasi keagamaan berbasis komunitas terus aktif dalam melakukan aksi peduli lingkungan. "LDII perlu mempublikasikan tindakan tersebut kepada masyarakat secara luas. Ini bukan hanya propaganda, tetapi juga merupakan kampanye peduli lingkungan. Bagikanlah cara LDII merawat kelestarian alam agar dapat menjangkau skala yang lebih luas," pesannya.

Chu mengajak warga LDII untuk menghidupkan aksi peduli lingkungan dengan menerapkan gaya hidup yang ramah lingkungan dalam kehidupan sehari-hari, seperti penghematan air, penggunaan energi yang bijak, penerapan konsep 3R (reduce, reuse, recycle), penggunaan kendaraan bebas polusi, dan lain sebagainya. "Kita perlu mengambil tindakan mendesak dalam merumuskan strategi pencegahan dampak perubahan iklim dan melakukan aksi peduli lingkungan," katanya.

Menurutnya, penanganan masalah lingkungan membutuhkan aksi kolektif global yang dilakukan secara sadar, sukarela, berjejaring, dan berkelanjutan. "Yang paling penting, kita perlu bertindak dengan segera. Ini bukanlah hal yang dapat kita anggap enteng," tegasnya.

Chu menyebutkan lima hal yang perlu ditanamkan dalam masyarakat untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya menjaga kelestarian bumi. "Yaitu bagaimana kita memandang bumi, bagaimana kita mendorong tindakan peduli terhadap kelestarian bumi, bagaimana kita mencintai tempat tinggal kita di bumi, bagaimana kita mengelola bumi, dan bagaimana kita memperhatikan kesehatan bumi," ungkapnya.

Sementara itu, Ary Tirto Djatmiko, Ketua Bidang Diseminasi Informasi Iklim dan Kualitas Udara di Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Indonesia, juga mengungkapkan dalam webinar tersebut bahwa penanganan perubahan iklim membutuhkan minimal 10 tahun untuk prakiraan, sedangkan bencana dapat terjadi secara mendadak. "Gempa bumi tektonik dan vulkanik tidak dapat diprediksi, tetapi bukan berarti tanda-tandanya tidak diketahui. Melalui pendekatan medikasi, adaptasi, dan advokasi, kita dapat menghadapinya," ucap Ary.

Ia menekankan pentingnya mempertahankan kearifan lokal yang ditinggalkan oleh nenek moyang, seperti pengetahuan tentang tanda-tanda alam (pronoto mongso dalam masyarakat Jawa). "Generasi milenial saat ini mungkin belum sepenuhnya memahami tanda-tanda alam, sehingga sharing knowledge dari para senior kepada generasi muda melalui sosialisasi dan pelatihan sangat diperlukan," jelasnya.

Amal, Pelatih dan Pendidik Institut Hijau Indonesia yang juga menjadi pembicara dalam webinar tersebut, mengungkapkan bahwa bencana ekologi dapat memicu pertempuran sengit dalam merebut sumber daya alam, terutama pangan. "Pangan adalah penopang kehidupan, dan ketika sumber daya pangan semakin terbatas, persaingan dalam merebutnya dapat memicu konflik," kata Amal.

Berdasarkan Laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), dunia akan menghadapi berbagai bahaya iklim yang tidak dapat dihindari dalam dua dekade mendatang akibat pemanasan global sebesar 1,5 derajat Celcius (2,7 derajat Fahrenheit). 

Kondisi ini berdampak pada cuaca yang tidak dapat diprediksi atau perubahan cuaca yang ekstrem. Selain itu, juga berpotensi mempengaruhi ketersediaan pangan, yang pada gilirannya berdampak pada perekonomian masyarakat. "Kita harus mulai beradaptasi dan berusaha mencegah perubahan iklim agar tidak semakin parah. Jika kita melupakan kondisi alam, alam tidak akan memaksa kita untuk mengingat kondisi kita. Jika kita tidak menjaga dan merawatnya, bencana dapat terjadi," ungkap Amal.

0 Komentar

close