Nelayan Aceh Bantu Rohingya, Terikat Hukum Adat Laut: Di Darat Kita Bermusuhan, tapi di Laut Jadi Saudara

Jumlah pengungsi Rohingya yang datang ke Aceh dalam satu bulan terakhir sudah mencapai 1.600 orang. Berdasarkan laporan, sebagian dari mereka sudah dipindahkan ke Gedung Sport Center.

Gelombang kedatangan orang Rohingya ke Aceh pun diwarnai sentimen negatif netizen Indonesia. Bahkan, narasi kebencian dan hoaks soal Rohingya marak beredar di media sosial.

Di tengah polemik itu, nelayan di Aceh mengulurkan tangan bagi para pengungsi. Bukan tanpa alasan, bantuan itu diberikan karena mereka terikat oleh hukum adat laut.

"Kalau ada musibah (di laut), wajib kita tolong. Kalau tidak menolong, ada sanksi adat," ucap seorang nelayan.

Nelayan di Aceh, Rahmi Fajri mengatakan bahwa hukum adat laut yang disepakati bersama dengan pimpinan adat disebut 'Panglima Laot'. Hukum itu mengikat para nelayan untuk menolong siapapun yang kesusahan di laut.

"Di darat kita bermusuhan, tapi ketika di laut kita jadi saudara. Kalau ada musibah, wajib kita tolong. Kalau tidak menolong, ada sanksi adat," katanya.

Menurut Rahmi Fajri, aturan tersebut sudah turun temurun berlaku dari nenek moyang yang menjadi 'kekhususan adat Aceh'. Aturan itu pun tidak goyah, walau sejumlah kalangan menyuarakan penolakan pengungsi Rohingya.

"Jika di laut akan kita tolong. Tapi ketika dibawa ke darat, itu urusannya pengawasan dan pemerintah. Jadi di luar tanggung jawab nelayan," tuturnya.

Hal itu pun dipertegas oleh Panglima Laot Aceh, Miftah Tjut Adek. "Bagi kami, Rohingya itu bukan kewenangan hukom adat laot untuk menerima mereka," ujarnya.

"Kami hanya menerapkan hukum sosial untuk membantu mereka di laut apabila mereka butuh. Tanpa menarik/mengangkut ke darat. Membantu orang yang butuh pertolongan adalah kewajiban kita semua,” kata Miftah Tjut Adek menambahkan.

Apa itu Hukum Adat Laut Aceh?

Berdasarkan keterangan Miftah Tjut Adek, Lembaga Hukum Adat Laot adalah lembaga adat nelayan yang dipimpin seorang yang dipilih secara adat yaitu Panglima Laot. Panglima Laot sudah ada sejak zaman Kerajaan Samudera Pasai, tepatnya 16 abad yang lalu.

Secara historis, panglima laot bertugas sebagai perpanjangan tangan raja untuk menjaga laut sebagai lalu lintas perdagangan termasuk memungut pajak, melayani dan menjaga keamanan para pedagang dari luar kerajaan, termasuk pelindung untuk nelayan.

Seiring perkembangan zaman, lembaga ini mengambil peran menjaga keamanan di laut, agar nelayan tidak berkonflik dalam mengeksploitasi sumberdaya ikan.

Kemudian, menjaga hukum adat dan adat istiadat yang tumbuh berkembang dalam kehidupan masyarakat nelayan termasuk adat sosial di dalamnya, serta menjaga kelestarian lingkungan pesisir pantai dan laut.

"Hukum adat bukan qanun atau undang undang yang perlu disahkan oleh DPR Kabupaten/DPR Aceh/pemerintah," tutur Miftah Tjut Adek.

Sebelum ramai kehadiran Rohingya, banyak nelayan Aceh membantu orang-orang di laut baik hidup maupun sudah meninggal. "Tanpa melihat agama, ras dan etnis," ucap Miftah Tjut Adek, dikutip Pikiran-Rakyat.com dari BBC. source

0 Komentar

close