DPRA Bentuk Tim Kajian dan Advokasi MoU Helsinki dan UUPA


Banda Aceh - DPR Aceh membentuk Tim Kajian dan Advokasi MoU Helsinki dan UUPA No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh yang berasal dari kalangan akademisi dan para ahli. Ketua DPR Aceh Sulaiman dalam konferensi yang digelar di Ruang Serbaguna DPRA Selasa siang (18/6/2019) mengatakan, tim ini dibentuk karena banyak kesepakatan MoU Helsinki yang belum dipenuhi Pemerintah RI sehingga tidak berjalan maksimal untuk kemakmuran rakyat Aceh.

Sulaiman mengatakan, pihaknya akan mengkomunikasikan kembali dengan pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri terkait apa saja kendala dalam merealisasikan pasal–pasal MoU Helsinki.

“Kesepakatan ini menjadi tanggung jawab bersama dan harus kita kawal bersama, baik oleh DPRA maupun Pemerintah Aceh, saya juga sudah konsultasi dengan mendagri, dan beliau juga berencana turun ke Aceh,” kata Sulaiman.

Sementara itu, Ketua Komisi I DPRA, Azhari Cage, mengatakan pihak DPRA tahun ini membentuk tim kembali untuk melakukan advokasi politik, karena masih banyak kendala dalam realisasi butir–butir MoU dalam UUPA, dinilai belum mampu memenuhi setiap unsur perdamaian yang telah disepakati bersama sejak 2005 silam.

“Selama ini banyak kendala dalam perjalanan UUPA yang berusia 13 tahun, suka atau tidak, mau tidak mau, dari semua butir kesepakatan, yang berjalan baru tiga hal selama 13 tahun, yang pertama dana otsus, kedua wali nanggroe, dan ketiga partai lokal, selebihnya dari itu tidak berjalan,” kata Azhari Cage.

Menurutnya, poin yang tidak berjalan seperti kewenangan bagi hasil migas, bidang pertanahan juga tidak sepenuhnya menjadi kewenangan Aceh, tapal batas Aceh yang belum selesai, dan persoalan bendera dan lambang Aceh meski telah disahkan DPRA, tetapi tetap masih berbenturan dengan aturan pusat, sehingga terkesan seperti ada dualisme.

Tim ini dibentuk untuk mempelajari kendala di lapangan terhadap implementasi butir–butir MoU Helsinki dengan cara menghimpun pendapat dari para mantan perunding, para pengambil kebijakan, maupun masyarakat agar bisa direalisasikan sesuai komitmen. Jika Pemerintah RI tidak merealisasikan itu kata Cage, maka mereka telah melanggar undang–undang yang telah dibuat tersebut.

“Melanggar Undang–Undang No 11 Tahun 2016 tentang UUPA sama dengan melanggar konstitusi UUD 1945 No 18b, karena dalam pasal tersebut dijamin, soal kekhususan dan keistimewaan yang ada di daerah, dan inilah yang akan kita advokasi,” katanya.

Tim Advokasi MoU dan UUPA terdiri atas para tenaga ahli, praktisi, dan akademisi dari berbagai universitas di Aceh seperti Unsyiah, UIN Ar–Raniry, dan Unimal. Tim yang telah dibentuk tersebut telah melakukan pengkajian sejak Maret lalu, penelitiannya dilakukan sejak bulan Mei di sembilan kabupaten.

Selanjutnya data lapangan dianalisis secara akademik dan menjadi suatu naskah akademik berupa buku, yaitu buku I tentang Kajian Normatif dan Konseptual MoU Helsinki dan UUPA Nomor 11/2006. Kedua buku H tentang Implementasi dan Implikasi dari MoU Helsinki dan UUPA 2006 terhadap Perdamaian dan Kesejahteraan bagi Aceh.

Konferensi pers tersebut turut dihadiri Wakil Ketua DPRA Sulaiman Abda, anggota Ermiadi, Iskandar Usman, dan Abdullah Saleh, serta beberapa anggota dewan lainnya dan sejumlah akademisi.

Sumber

0 Komentar

close